Sistem Pemerintahan Orde Lama: Cikal Bakal Berdirinya Negara Indonesia
Sekarang ini, berbagai literatur, artikel, dan makalah budaya politik banyak bermunculan. Hal itu tidak lain karena saat ini orang semakin tertarik dengan dunia politik.
Jika pada abad ke-18 dominasi politik dikalahkan oleh ekonomi, maka sejak abad ke-19 kondisinya justru terbalik, politik yang mendominasi hampir semua aspek kehidupan manusia: ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Politik secara bahasa berasal dari kata polisea yang artinya negara kota. Adapun secara umum politik bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu secara art (seni atau kemahiran ilmu pengetahuan) dan science (ilmu pengetahuan).
Politisi dan Ilmuwan Politik
Para politisi belum tentu belajar politik secara formal di perguruan tinggi. Ia mahir berpolitik karena pengalamannya aktif di partai politik (parpol), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau lembaga lain yang mengikuti perkembangan politik setiap saat.
Sebagai contoh, mantan ketua umum Partai Golkar, Akbar Tandjung. Background (latar belakang) pendidikan beliau adalah teknik, namun karena beliau pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (MHI) maka pengalaman berpolitik beliau dimulai dari sana.
Adapun politik secara science (ilmu pengetahuan) adalah ilmu yang mempelajari politik suatu negara. Uniknya, belum tentu ilmuwan politik aktif di partai politik. Mereka lebih nyaman menjadi pengamat atau kritikus politik.
Sekarang, ilmuwan politik sering sekali menjadi narasumber di televisi, sebut saja Effendi Ghazali, Cipta Lesmana, Eep Saeful Fatah, Burhanudin Muhtadi dan lain-lain.
Budaya Politik
Berkaitan dengan budaya politik, sebagaimana kita ketahui bahwa budaya diajarkan dari generasi ke generasi, dan karena politik menjadi bagian dari budaya, maka tanpa terkecuali baik secara formal maupun tidak informal.
Secara informal politik diajarkan dalam keluarga, misalnya melalui obrolan ringan ketika makan, nonton, atau aktivitas lain. Secara tak langsung apa yang disampaikan oleh kepala keluarga yang biasanya berperan sebagai “vokalis” akan dipahami sebagai nilai-nilai politik untuk menentukan benar atau salah dan berpolitik oleh anggota keluarga lainnya.
Adapun secara formal, politik diajarkan di sekolah dan kampus secara teoretis terutama bagai mahasiswa yang kuliahdi fakultas sospol.
Budaya politik di negara kita mengalami perubahan dari waktu ke waktu terutama ketika pendekati Pemilu (Pemilihan Umum), seperti yang terjadi pada dua periode Pemilu sampai sekarang, ramai-ramai selebritis mencalonkan diri dalam bursa pemilihan.
Mulai dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Calon Legislatif (Caleg), atau spesialis wakil kepala daerah (Provinsi, Kota, dan Kabupaten).
Tak salah memang budaya ini, toh politik terbuka untuk siapa saja tanpa memandang SARA, pendidikan, profesi, dan keterampilan.
Dalam praktiknya, asalkan memiliki massa pendukung yang mencapai kuota dan sejumlah dana kampanye, bisa mencalonkan diri. Sebut saja Dede Yusuf, Dicky Chandra, Adji Pangestu, dan politikus lain yang pernah berprofesi sebagai selebriti.
Primordialisme
Budaya politik kekinian bergeser ke arah primordialisme (kesukuan), di mana seorang pimpinan politik mencalonkan istrinya, anaknya, atau saudaranya.
Sebenarnya, budaya politikus selebriti dan priomordialisme telah mulai sejak masa Orde Baru, hanya pada saat ini lebih terbuka sehingga masyarakat semakin tahu bagaimana budaya politik di negara kita.
Menurut pengamat politik, sebenarnya budaya politik seperti selebriti politikus dan primordialisme menggambarkan bahwa pola kaderisasi partai dan komunikasi politik tidak berjalan efektif, dalam arti sebuah partai politik tidak berusaha untuk mengenalkan kadernya sedini mungkin, jauh-jauh sebelum Pemilu dilaksanakan.
Jadi sosialisasinya instan. Sehingga untuk mendongkrak popularitas, kader dari partainya mengajak selebritis yang telah lebih dulu terkenal.
Begitu pula priomordialisme. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi kader di sebuh partai politik tidak bersaing secara sehat.
Jika ada kader yang pengetahuan politiknya mumpuni dan pengalamanya telah lama di partai politik, namun karena ia bukan keluarga atau saudara pimpinan politik, kecil kemungkinan ia bisa berada di pucuk pimpinan partai atau mewakili pertainya di parlemen.
Puan Maharani dan Edi Baskoro misalnya. Banyak yang berasumsi keduanya bisa menjadi anggota DPR karena mereka adalah anak presiden dan mantan presiden, maka tak heran terpilih menjadi anggota DPR terlepas dari layak atau tidak layak.